Thursday, October 18, 2018

Materi 6 : PEMBELAJARAN KIMIA ABAD 21


Dalam pandangan paradigma positivistik masyarakat berkembang secara linier seiring dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri yang ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara berturut-turut masyarakat berkembang dari masyarakat primitif, masyarakat agraris, masyarakat industri, dan kemudian pada perkembangan lanjut menjadi masyarakat informasi. Situasi abad 21 sering kali diidentikan dengan masyarakat informasi tersebut, yang ditandai oleh munculnya fenomena masyarakat digital. Meneruskan perkembangan masyarakat industri generasi pertama, sekarang ini, abad 21 dan masa mendatang, muncul apa yang disebut sebagai revolusi industri 4.0.
Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011 yang ditandai revolusi digital. Revolusi industri gelombang keempat, yang juga disebut industri 4.0, kini telah tiba. Industry 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligent), perdagangan elektronik, data raksasa, teknologi finansial, ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot.
Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat global, juga berkembang sebagaimana alur linieristik tersebut, setidaknya dari sudut pandang pemerintah sejak era Orde Baru. Akan tetapi pada kenyataannya kondisi masyarakat Indonesia tidak sama dengan perkembangan pada masyarakat Barat yang pernah mengalami era pencerahan dan masyarakat industri. Perkembangan masyarakat Indonesia faktanya tidak secara linier, tetapi lebih berlangsung secara pararel. Artinya, ada masyarakat yang hingga fase perkembangannya sekarang masih menunjukkan masyarakat primitif, ada yang masih agraris, ada yang sudah menunjukkan karakter sebagai masyarakat industrial, dan bahkan ada yang memang sudah masuk dalam era digital. Semuanya kategori karakter masyarakat tersebut faktanya berkembang tidak secara linier, tetapi berlangsung secara pararel.
Oleh karena itu, meskipun era digital sudah begitu marak yang ditandai oleh makin luasnya jangkauan internet; namun demikian ada juga masyarakat yang masih belum terjangkau internet, dan bahkan masih berupa wilayah blank spot. Kondisi seperti itu juga berimplikasi terhadap perkembangan pelayanan pendidikan, sehingga juga berkonsekuensi terhadap karaktiristik guru dan siswanya, meskipun sudah berada dalam abad 21. Sekolah, guru, dan siswa di daerah perkotaan memang sudah terkoneksi jaringan internet, tetapi untuk daerah pedesaan masih ada juga yang belum terambah oleh fasilitas internet, dan bahkan ada pula wilayah yang sama sekali belum terjangkau infrastruktur telekomunikasi. Akan tetapi pada abad 21 sekarang ini masyarakat Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dengan era digital. Karena itu apa pun harus menyesuaikan dengan kehadiran era baru berbasis digital, sehingga bagaimana menjadi bagian dari era digital sekarang ini dengan memanfaatkan teknologi digital dan berjejaring ini secara produktif.
1. Masyarakat Informasional di Indonesia
Pada fase masyarakat industrial fokus utama adalah bagaimana masyarakat dengan segenap penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berusaha mengolah bahan baku yang disediakan oleh alam menjadi komoditas yang berpotensi meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi sekarang ini, ketika memasuki era masyarakat informasional, bukan lagi perkara bagaimana berproduksi untuk akumulasi kapital, akan tetapi bagaimana penguasaan dan kemampuan mengolah informasi sebagai sumber daya utama untuk meningkatkan kualitas hidup.
Sekarang ini banyak yang sepakat bahwa masyarakat Indonesia mengalami transisi dari masyarakat offline menuju masyarakat online. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat informasional dan komunikasional juga telah hadir yang siapa pun tidak bisa menolaknya. Dengan kata lain, kehadiran masyarakat informasional ini sudah merupakan imperatif, atau sebuah keniscayaan. Hampir seluruh aspek kehidupan dalam bermasyarakat mulai dari aspek ekonomi, politik, kebudayan, dan sosial-budaya terambah oleh moda-moda informasional dan komunikasional. Sekarang ini informasi tidak lagi mewujud dalam bentuk pengetahuan yang terdokumentasi secara padat seperti barang-barang cetakan, tetapi telah berubah menjadi serba digital. Proses digitalisasi terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang tentu saja berimplikasi terhadap perubahan nilai, cara pandang, dan pola-pola perilaku masyarakat.
Dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di Indonesia mencapai 132,5 juta orang pada 2016, tumbuh pesat dari 2015 yang baru 88,1 juta orang. Hal itu tidak lepas dari kerja keras para operator telekomunikasi yang memperluas jangkauan layanan mereka. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang mendukung (Kompas, 20 Maret 2017, hal. 12). Akan tetapi seiring dengan gegap-gempita tumbuhnya masyarakat jaringan ini, juga menyodorkan persoalan sosio-kultural seperti kesenjangan digital. Dalam insitusi keluarga pun juga menyodorkan persoalan kesenjangan antara generasi para orangtua yang masih disebut sebagai digital immigrant dan generasi anak-cucunya yang disebut sebagai generasi digital native.
Di Indonesia, target menjadi masyarakat informasi diarahkan pada ukuran terhubungnya seluruh desa dalam jaringan teknologi komunikasi dan informasi pada tahun 2015. Determinasi teknologi ini harus diwujudkan dalam determinasi sosial, dimana masyarakat harus berdaya terhadap informasi. Konsep masyarakat informasi tidak lagi mengarah seperti era media yang telah muncul pada era industrial atau sering disebut the first media age dimana informasi diproduksi terpusat (satu untuk banyak khalayak), arah komunikasi satu arah; Negara mengontrol terhadap semua informasi yang beredar; reproduksi stratifikasi sosial dan ketidakadilan melalui media; dan khalayak informasi yang terfragmentasi. Akan tetapi masyarakat informasi yang berada pada the second media age yang memiliki karakter informasi desentralistik; komunikasi dua arah; kontrol Negara yang distributif; demokratisasi informasi; kesadaran individual yang mengutama; dan adanya orientasi individual.
Ciri utama masyarakat informasi adalah bahwa semua aktivitas masyarakatnya berbasis pada pengetahuan. Oleh karena itu, dalam dunia di mana informasi dan pengetahuan terus beredar, pemerintah bercita-cita untuk membangun negara sebagai masyarakat yang berpengetahuan. Akan tetapi justru di sinilah kemudian menimbulkan masalah, sebab perkembangan masyarakat di Indonesia tidak linier dan homogen. Ada sebagaian masyarakat yang sudah berada dalam tahap siap memasuki masyarakat informasi karena telah mempunyai basis pengetahuan kuat dan menggunakannya sebagai dasar utama bagi aktivitasnya. Sementara banyak juga warga masyarakat yang berakar kuat pada kultur agraris, tradisional, penuh mistik, dan pandangan dunianya kurang mampu cepat beradaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya ketika pemerintah membangun infrastruktur ICT secara signifikan, sebagian besar warga masyarakat kurang mampu memanfaatkan ICT untuk kepentingan yang produktif, karena rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pengetahuan.
2. Implikasinya terhadap Pendidikan
Perubahan peradapan menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge society). menuntut masyarakat dunia untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT Literacy Skills). Pendidikan memegang peranan sangat penting dan strategis dalam membangun masyarakat berpengetahuan yang memiliki keterampilan: (1) melek teknologi dan media; (2) melakukan komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4) memecahkan masalah; dan (5) berkolaborasi. Akan tetapi persoalan ICT Literacy ini dalam masyarakt kita masih masalah mendasar bagi upaya menuju masyarakat informasi. Rendahnya tingkat ICT Literacy, terutama pada masyarakat pedesaan menjadi faktor signifikan terhadap menetapnya fenomena kesenjangan informasi di Indonesia.
Mark Poster pada awal dekade sembilan puluhan telah mempublikasikan buku The Second Media Age, yang mengakabarkan datangnya periode baru yaitu hadirnya teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, terutama sejak hadirnya internet, yang akan mengubah masyarakat. Jadi sudah sejak awal, para akademisi telah memprediksi bahwa kehadiran Internet akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap perubahan social. World Wide Web (www) adalah dunia yang terbuka, fleksibel, dan merupakan lingkungan informasi yang dinamik, yang membuat keberadaan manusia mampu mengembangkan orientasi baru terhadap ilmu pengetahuan, dan mendorong lebih banyak berinteraksi, community-base, dunia demokrasi yang saling memberdayakan. Internet mengembangkan tempat untuk bertemu secara virtual yang memperluas jaringan social ke seluruh dunia, menciptakan kemungkinan baru untuk pengetahuan, dan memberi peluang untuk berbagi perspektif secara lebih luas.
Merespons perkembangan baru, yaitu era masyararakat informasional dan komunikasional yang ditandai oleh kehadiran media baru, pemerintah dalam pembangunan sektor pendidikan mengeluarkan kebijakan. Beberapa kebijakan Kementerian Pendidikan Indonesia yang berisi pemanfaatan ICT dalam pembelajaran sudah cukup lama hingga sekarang, termasuk penerapan Kurikulum 2013 juga mendorong proses pembelajaran berbasis ICT, sehingga penetrasi media baru (new media) dalam dunia pendidikan semakin intensif dan ekstensif. Terdapat kesepakatan umum bahwa Information and Communication Technologies (ICT) adalah baik untuk pengembangan dunia pendidikan.
Bank Dunia mengarisbawahi bahwa para pendidik dan para pengambil keputusan sepakat bahwa ICT merupakan hal yang sangat penting bagi pengembangan masa depan pendidikan dalam era Melinium. Teknologi ini, khususnya internet yang mampu membangun kemampuan jaringan informasi dapat meningkatkan akses melalui belajar jarak jauh, membuka jaringan pengetahuan bagi murid, melatih guru-guru, menyebarluaskan materi pendidikan dengan kualitas standar, dan mendorong penguatan upaya efisiensi dan efektivitas kebijakan administrasi pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pemanfaatan TIK dalam pendidikan melalui Pendidikan Jarak Jauh bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler, (3) Pendidikan jauh diselelnggrakan dalam bentuk, modus dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. Jadi sistem pendidikan jarak jauh telah menjadi suatu inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan nasional.”
Sistem pendidikan jarak jauh yang dimulai dengan generasi pertama korespondensi (cetak), generasi kedua multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga pembelajaran jarak jauh (telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran fleksibel (multimedia interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based course), akhirnya generasi keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www). Seperti tercantum secara eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009, terlihat jelas bahwa TIK memainkan peran penting dalam menunjang tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, yaitu:(1) perluasan dan pemerataan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau rakyat banyak.
Dalam Renstra Depdiknas 2005 – 2009 dinyatakan peran strategis TIK untuk pilar pertama, yaitu perluasan dan pemerataan akses pendidikan, diprioritaskan sebagai media pembelajaran jarak jauh. Sedangkan untuk pilar kedua, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, peran TIK diprioritaskan untuk penerapan dalam pendidikan/proses pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik, peran TIK diprioritaskan untuk sistem informasi manajemen secara terintegrasi.
Perubahan era yang kemudian mengubah karakter masyarakat secara bertahap, menghadirkan realitas baru seperti masyarakat informasional dan komunikasional juga berimplikasi terhadap perkembangan media, yang kemudian dikenal sebagai media baru. Media baru yang berbasis internet dan web ini beroperasi secara masif, ekstensif, dan intensif merasuk ke berbagai sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor pendidikan. Oleh karena itu dapat dipahami jika pemerintah Indonesia mengantisipasi dan kemudian menstransformasikan diri dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan berbasis TIK tersebut. Berbagai regulasi juga terus diciptakan guna mengikuti kehadiran media baru ini.
Dengan hadirnya ICT dunia pendidikan bisa membawa dampak positif apabila teknologi tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi bisa menjadi masalah baru apabila lembaga pendidikan tidak siap. Untuk itu, perlu dilakukan suatu kajian tentang dampak positif dan negatif dari pemanfataan Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) sebagai media komunikasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Kurniawati et,al (2005) menunjukan bahwa pada umumnya pendapat guru dan siswa tentang manfaat ICT khususnya edukasi net antara lain : (1) Memudahkan guru dan siswa dalam mencari sumber belajar alternative; (2 ) Bagi siswa dapat memperjelas materi yang telah disampaikan oleh guru, karena disamping disertai gambar juga ada animasi menarik; (3) Cara belajar lebih efisien; (4) Wawasan bertambah; (5) Mengetahui dan mengikuti perkembangan materi dan info-info lain yang berhubungan dengan bidang studi; dan (5) Membantu siswa melek ICT (Pujiriyanto, 2012).
Atas perubahan tersebut, maka dalam proses pembelajaran juga sangat intensif terekspose (terpaan) oleh kehadiran media baru, dan ini menyodorkan fenomena tentang mediatisasi pembelajaran. Masif, ekstensif, dan intensifnya media baru dalam proses pembelajaran ini akhirnya juga mengubah moda-moda belajar yang bergantung pada media. Fenomena baru inilah yang kemudian dikenal sebagai mediatisasi pembelajaran, di mana media tampil begitu kuat dan menentukan, dan akhirnya aktivitas pembelajaran bukan sekadar memanfaatkan media akan tetapi lebih dari itu mengikuti logika media.
Kuatnya logika media itu kemudian membawa konsekuensi terhadap perubahan pola dan moda belajar pada lembaga strategis seperti sekolah. Misalnya, hubungan guru dan murid dan aktivitas belajarnya tidak lagi bergantung pada satu sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekolah, akan tetapi juga mau tidak mau harus menerima kehadiran media baru berbasis internet dan web ini sebagai sumber belajar. Karakter media baru sebagai penyedia konten (isi) begitu besar dan bahkan tidak terbatas jauh melebihi gudang pengetahuan yang disediakan pada lingkungan sekolah.
Aksesnya pun terbuka lebar karena tata kelola informasinya sangat canggih dan sangat mudah dan cepat diakses oleh siswa dalam aktivitas belajar. Sekarang ini pokok-pokok bahasan yang diajarkan guru pada ruang kelas, akan dengan mudah dikonfirmasikan melalui google atau pun yahoo yang begitu banyak dan mudah menyediakan informasi pengetahuan yang relevan dengan pembelajaran di sekolah. Lebih dari itu, media baru juga menyediakan aplikasi pembelajaran secara virtual yang mirip dengan pembelajaran di ruang kelas pada setiap sekolah.
Akan tetapi, kehadiran media baru ini juga menghadirkan berbagai persoalan yang berkait dengan perilaku belajar siswa dan sikap guru terhadap maraknya pembelajaran digital ini. Sebut saja misalnya tentang sikap minimalis dan pragmatisme belajar siswa yang sangat fenomenal seperti ketergantungan pada google atau yahoo setiap kali menghadapi masalah atau pun penugasan dalam pembelajaran di kelas. Sikap guru pun masih variatif dalam menghadapi hadirnya media baru dan mediatisasi pembelajaran ini karena terkait kesenjangan keterampilan dan pengetahuan tentang media baru, yang masuk dalam generasi digital imigrant yang harus menghadapi murid yang masuk dalam kategori digital native.
3. Keterampilan Utama pada Abad 21
Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik berbeda dengan pembelajaran yang berpusat pada pendidik, berikut karakter pembelajaran abad 21 pembelajaran yang berpusat pada peserta didik yang sering disebut sebagai 4C, yaitu:
a.    Communication (Komunikasi)
Di abad 21, siswa yang mampu bertahan adalah yang bisa berkomunikasi dengan berbagai cara, baik tertulis maupun verbal. Siswa dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan, dan multimedia. Siswa diberikan kesempatan menggunakan kemampuannya untuk mengutarakan ide-idenya, baik itu pada saat berdiskusi dengan teman-temannya maupun ketika menyelesaikan masalah dari gurunya. Siswa tidak boleh lagi anti ICT, mereka harus biasa dengan komunikasi yang bertekhnologi. Demikian juga gurunya. Pada karakter ini, peserta didik dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan, dan multimedia. Peserta didik diberikan kesempatan menggunakan kemampuannya untuk mengutarakan ide-idenya, baik itu pada saat berdiskusi dengan teman-temannya maupun ketika menyelesaikan masalah yang diberikan oleh pendidik.
b.   Collaboration (Kerjasama)
Ternyata juga, hidup di abad 21 tidak tergantung lagi pada persaingan. Justru, orang-orang sukses di abad ini adalah orang-orang yang bisa bekerja sama atau berkolaborasi dengan berbagai kepentingan. Siswa harus mampu kemampuannya dalam kerjasama berkelompok dan kepemimpinan; beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab; bekerja secara produktif dengan yang lain; menempatkan empati pada tempatnya; menghormati perspektif berbeda. Siswa juga menjalankan tanggung jawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi, pada Pada karakter ini, peserta didik menunjukkan kemampuannya dalam kerjasama berkelompok dan kepemimpinan; beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab; bekerja secara produktif dengan yang lain; menempatkan empati pada tempatnya; menghormati perspektif berbeda. Peserta didik juga menjalankan tanggungjawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi, pada tempat kerja, dan hubungan masyarakat; menetapkan dan mencapai standar dan tujuan yang tinggi untuk diri sendiri dan orang lain.
c.     Critical Thinking and Problem Solving (Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah)
Yang dimaksud masalah di sini ada dua macam, masalah yang sifatnya akademis dan otentis. Masalah akademis tentu saja masalah yang terkait pada ranah kognisi yang mereka jalani. Masalah otentis lebih kepada masalah yang sering mereka jumpai sehari-hari di sekitar mereka. Siswa dituntut mampu menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dengan mandiri, siswa juga memiliki kemampuan untuk menyusun dan mengungkapkan, menganalisa, dan menyelesaikan masalah. Pada karakter ini, peserta didik berusaha untuk memberikan penalaran yang masuk akal dalam memahami dan membuat pilihan yang rumit; memahami interkoneksi antara sistem. Peserta didik juga menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dengan mandiri, peserta didik juga memiliki kemampuan untuk menyusun, mengungkapkan, menganalisa, dan menyelesaikan masalah.
d.    Creativity and Innovation (Daya cipta dan Inovasi)
Pada karakter ini, peserta didik memiliki kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang lain; bersikap terbuka dan responsif terhadap perspektif baru dan berbeda. Manusia yang akan sukses di abad 21 adalah orang-orang yang kreatif dan memiliki keberagaman ide. Sehingga, dalam dimensi kreatif ini, gurunya pun harus kreatif. Tidak lagi hanya mengharapkan kemampuan siswa pada level mendeskripsikan sesuatu, namun bagaimana siswa mampu mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang lain; bersikap terbuka dan responsif terhadap perspektif baru dan berbeda.
4. Karakteristik Guru Abad 21
Bagaimana ciri guru Abad 21 ?  Menurut Ragwan Alaydrus, S.Psi setidaknya ada 7 Karakteristik Guru Abad 21
a.     Life-long learner. Pembelajar seumur hidup. Guru perlu meng-upgrade terus pengetahuannya dengan banyak membaca serta berdiskusi dengan pengajar lain atau bertanya pada para ahli. Tak pernah ada kata puas dengan pengetahuan yang ada, karena zaman terus berubah dan guru wajib up to date agar dapat mendampingi siswa berdasarkan kebutuhan mereka.
b.     Kreatif dan inovatif. Siswa yang kreatif lahir dari guru yang kreatif dan inovatif. Guru diharap mampu memanfaatkan variasi sumber belajar untuk menyusun kegiatan di dalam kelas.
c.      Mengoptimalkan teknologi. Salah satu ciri dari model pembelajaran abad 21 adalah blended learning, gabungan antara metode tatap muka tradisional dan penggunaan digital dan online media. Pada pembelajaran abad 21, teknologi bukan sesuatu yang sifatnya additional, bahkan wajib.
d.     Reflektif. Guru yang reflektif adalah guru yang mampu menggunakan penilaian hasil belajar untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Guru yang reflektif mengetahui kapan strategi mengajarnya kurang optimal untuk membantu siswa mencapai keberhasilan belajar. Ada berapa guru yang tak pernah peka bahkan setelah mengajar bertahun-tahun bahwa pendekatannya tak cocok dengan gaya belajar siswa. Guru yang reflektif mampu mengoreksi pendekatannya agar cocok dengan kebutuhan siswa, bukan malah terus menyalahkan kemampuan siswa dalam menyerap pembelajaran 
e.      Kolaboratif. Ini adalah salah satu keunikan pembelajaran abad 21. Guru dapat berkolaborasi dengan siswa dalam pembelajaran. Selalu ada mutual respect dan kehangatan sehingga pembelajaran akan lebih menyenangkan. Selain itu guru juga membangun kolaborasi dengan orang tua melalui komunikasi aktif dalam memantau perkembangan anak.
f.        Menerapkan student centered. Ini adalah salah satu kunci dalam pembelajaran kelas kekinian. Dalam hal ini, siswa memiliki peran aktif dalam pembelajaran sehingga guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Karenanya, dalam kelas abad 21 metode ceramah tak lagi populer untuk diterapkan karena lebih banyak mengandalkan komunikasi satu arah antara guru dan siswa.
g.     Menerapkan pendekatan diferensiasi. Dalam menerapkan pendekatan ini, guru akan mendesain kelas berdasarkan gaya belajar siswa. pengelompokkan siswa di dalam kelas juga berdasarkan minat serta kemampuannya. Dalam melakukan penilaian guru menerapkan formative assessment dengan menilai siswa secara berkala berdasarkan performanya (tak hanya tes tulis). Tak hanya itu, guru bersama siswa berusaha untuk mengatur kelas agar menjadi lingkungan yang aman dan suportif untuk pembelajaran.

5. Teknik Pembelajaran Abad 21
Karakteristik pembelajar abad 21 ini menjadi penting untuk diketahui oleh para guru dan orang tua supaya dapat mengetahu bagaimana cara/teknik memfasilitasi pembelajarannya.
Cara/teknik pembelajaran yang digunakan untuk memfasilitasi pembelajaran abad 21 ini meliputi:
1)     pembelajaran yang berpusat pada peserta didik,
2)     multi interaksi dalam proses pendidikan,
3)     lingkungan belajar yang lebih luas,
4)     peserta didik aktif menyelidiki dalam proses belajar,
5)     apa yang dipelajari kontekstual dengan anak,
6)     pembelajaran berbasis tim,
7)     objek yang dipelajari relevan dengan kebutuhan anak,
8)     semua indera anak didayagunakan dalam proses belajar,
9)     menggunakan multimedia (khususnya ICT),
10) hubungan guru dengan siswa adalah kerjasama untuk belajar bersama,
11) peserta didik belajar sesuai dengan kebutuhan individual, sehingga layanan pembelajaran lebih individual juga, kesadaran jamak (bukan individual),
12) multi displin,
13) otonomi dan kepercayaan,
14) mengembangkan pemikiran kreatif dan kritis,
15) guru dan siswa sama-sama saling belajar.
(Sumber: dikembangkan dari “Paradigma Pendidikan Abad 21”, BSNP, 2010).
Permasalahan :



Masif, ekstensif, dan intensifnya media baru dalam proses pembelajaran ini akhirnya juga mengubah moda-moda belajar yang bergantung pada media. Fenomena baru inilah yang kemudian dikenal sebagai mediatisasi pembelajaran, di mana media tampil begitu kuat dan menentukan, dan akhirnya aktivitas pembelajaran bukan sekadar memanfaatkan media akan tetapi lebih dari itu mengikuti logika media. Kuatnya logika media itu kemudian membawa konsekuensi terhadap perubahan pola dan moda belajar pada lembaga strategis seperti sekolah. Misalnya, hubungan guru dan murid dan aktivitas belajarnya tidak lagi bergantung pada satu sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekolah, akan tetapi juga mau tidak mau harus menerima kehadiran media baru berbasis internet dan web ini sebagai sumber belajar.
Akan tetapi, kehadiran media baru ini juga menghadirkan berbagai persoalan yang berkait dengan perilaku belajar siswa dan sikap guru terhadap maraknya pembelajaran digital ini. Sebut saja misalnya tentang sikap minimalis dan pragmatisme belajar siswa yang sangat fenomenal seperti ketergantungan pada google atau yahoo setiap kali menghadapi masalah atau pun penugasan dalam pembelajaran di kelas. Sikap guru pun masih variatif dalam menghadapi hadirnya media baru dan mediatisasi pembelajaran ini karena terkait kesenjangan keterampilan dan pengetahuan tentang media baru, yang masuk dalam generasi digital imigrant yang harus menghadapi murid yang masuk dalam kategori digital native. Bagaimana cara kita sebagai research to be mengatasi permasalahan ini? Bukankah seharusnya di Abad 21 Keterampilan yang diharapkan dari peserta didik salah satunya adalah mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah, bukannya  bergantung pada media google dan yahoo saja yang mampu menjawab segala permasalahan?  Bagaimana saran dan solusinya menurut Anda terkhusus contohnya dalam pembelajaran kimia?

15 comments:

  1. saya akan mencoba menjawab pertanyaan dari melda yakni bagaimana peran kita sbg research to be dalam mengatasi pefrmasalahan siswa yang tergantungan googling dan respon guru yang bervariatif dengan fenomena mediatasi ini.
    menurut saya yang dapat kita researcher lakukan yakni dengan mennganalisis apa penyebab fenomena tsb, jika kita telah mengetahui penyebabnya kita bisa menelukan bagaimana solusinya, disebutkan bahwa setiap diberikan tugas siswa terbiasa googling, nah untuk mengaasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kriti dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa. misalnya yakni meminta pendapat/persepsi siswa secara langsung atau dengan menugaskan siswa mengumpulkan info (googling) sebanyak-banyaknya namun nantinya disimpulkan secara mandiri hasil googlingan yang ditemukan siswa tsb (literasi) dan mempresentasikan hasil googling+persepsi individual siswa yang berkaitan dengan materi.
    menurut saya dengan cara ini konotasi negatif googling mungkin dapat sedikit berkurang, balik lagi bagaimana cara guru mensiasatinya, dan bagi guru yang masih belum dapat menerapkannya itu merupakan salah satu tanggungjawab kita researcher to be untuk membantu mengarahkan/ mengedukasi guru (selain tugas pemerintah pusat/dinas pendidikan provinsi)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya sependapat dengan kak rini, sebagai research to be kita bisa melakukan penelitian dengan menganalisis dan mengumpulkan data-data apa penyebabnya dan faktor-faktor yang membuat siswa seperti itu. Kemungkinan bisa jadi dari RPP yang dibuat guru juga tidak mengarahkan siswa kepada cara berfikir tingkat tinggi. Menurut saya pribadi teknologi itu harus dibarengi dengan cara kita mebatasinya, nah dalam proses pembelajaran tentu guru membatasi dengan langkah-langkah belajar dalam mengarahkan siswa. Mudahnya siswa dalam memperoleh pengetahuan membuat kita harus mengubah proses berpikir siswa menjadi C4-keatas agar pencarian di google tadi tidak dicopas secara bulat oleh siswa melainkan data digoogle sebagai data tambahan siswa dalam menganalisis

      Delete
    2. saya sependapat dengan kaka rini dan kak rifani menanggapi permasalahan ini dimana cara mensiasatinya dengan meminta pendapat/persepsi siswa secara langsung atau dengan menugaskan siswa mengumpulkan info (googling) sebanyak-banyaknya namun nantinya disimpulkan secara mandiri hasil googlingan yang ditemukan siswa tsb (literasi) dan mempresentasikan hasil googling+persepsi individual siswa yang berkaitan dengan materi.
      hal ini harus dirancang dnegan menggunakan metode yang tepat yang tertuang pada RPP yang telah dibuat guru

      Delete
    3. saya setuju dengan kk rini, menurut saya yang dapat kita researcher lakukan yakni dengan mennganalisis apa penyebab fenomena tsb, jika kita telah mengetahui penyebabnya kita bisa menelukan bagaimana solusinya, disebutkan bahwa setiap diberikan tugas siswa terbiasa googling, nah untuk mengaasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kriti dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa.

      Delete
    4. saya setuju dengan pendapat teman-teman bahwa cara mensiasatinya dengan meminta pendapat/persepsi siswa secara langsung atau dengan menugaskan siswa mengumpulkan info (googling) sebanyak-banyaknya namun nantinya disimpulkan secara mandiri hasil googlingan yang ditemukan siswa tsb (literasi) dan mempresentasikan hasil googling+persepsi individual siswa yang berkaitan dengan materi.

      Delete
  2. Terimaksih atas komentarnya saudari rini, saudari mengatakan untuk mengatasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kritis dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa. Sedangkan mereka benar-benar sudah sangat tergantung dengan google, kondisinya ada masalah apapun yang diberikan semudah dan serumit apapun pasti langsung buka google, seolah-olah mereka malas untuk berpikir, yah yaudahlah tinggal buka google aja, bagaimana bisa kita tetap memberikan pertanyaan yang megasah tingkat berpikirnya sedangkan mereka menjadi manja dengan google dan malas berpikir?

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah itu tadi melda menurut saya kita sbg researcher bisa membantu guru memunculkan pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan pemikiran mendalam misalnya dalam bentuk esay terstruktur, ataupun menanyakan opini siswa terhadap suatu materi (opini kan tidak bisa di copycut melainkan merupakan hasil pemikiran) dengan begitu yang tadinya jawaban siswa hanya copycut kita bisa arahkan menjadi jawaban yang lebih dalam dan terarah. atau bisa jadi dengan memunculkan pertanyaan yang berdasarkan pengalaman personal (misalnya pada materi asam basa, contoh asam yakni rasa jeruk yang masam itu hanya bisa dikatakan masam jika siswa merasakannya sendiri)

      Delete
  3. Ingin menjawab pertanyaan kk melda. Sebenarnya sulit untuk membatasi dunia internet ini terutama google atau pun youtube. Karena saya sendiri pun sebagai mahasiswa masih memanfaat kan google dan youtube untuk mendapatkan informasi yg mendukung tugas saya. Namun disini saat proses pmbelajaran dosen saya meminta saya untuk menyampaikan atau mempresentasikan apa yg sudah saya temui dam membuktikan dengan konkrit nah disnilah akan muncul tingkat berpikir saya bagaiamana cara menjelaskannya dan menghubungkannya dengan apa sudah syn dapatkan di internet tdi. Begitu pula untuk guru dan siswa. Tidak bisa di pungkiri siswa skrng pasti selalu melibatkan dunia internet untuk menyelesaikaj tugasnya. Namun disini tugas guru tidak hanya sekedar membrri tugas lalu menilai. Tetapi guru harus membangkitkan rasa keingin tahuan siswa mengapa fenomena atau permasalahan yg dtemui bisa terjadi. Yaitu guru meminta siswa yg ntuk mberpikir lagi dan mempresentasikan kepada teman temana bagaimana proses pemecahan masalahnya sesuai dengan apa yg sudah di cari oleh siswa tdi. Dan juga adanya pembuktikan konkrit bahwa yg sudah di cari oleh siswa meallui internet itu adalah benar. Karena baanyak nya pendapat manusia di dalam internet itu. Sehingga siswa pasti bingung mana yang benar dan salah untuk itu perlu lagi untuk prmbuktian atau penyelidikan agar siswa oercyaa dan kemampuan berpikirnya meningkat. Tidak hanya sebatas dari kata kata google. Karena pembelajaran abad 21 tidak hanya memnuntut teknologi saja namun adanya literasi baru dan belajar secara kelompok atau keja sama antar siswam dan guru begitu juga antara siswa dengan siswa lainnya. Jika hanya sebatas teknologi maka abad 21 ini tidak berjalan karena stiap manusia sudah sibuk dengan gadjet atau tekonlogi nya masing2 tanpa memperdulikan sesama lagi atau sekitar lingkungan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya setuju dengan dian, bahwa sulit untuk membatasi dunia internet ini terutama google atau pun youtube. Karena pembelajaran abad 21 tidak hanya memnuntut teknologi saja namun adanya literasi baru dan belajar secara kelompok atau keja sama antar siswam dan guru begitu juga antara siswa dengan siswa lainnya. Jika hanya sebatas teknologi maka abad 21 ini tidak berjalan karena stiap manusia sudah sibuk dengan gadjet atau tekonlogi nya masing2 tanpa memperdulikan sesama lagi atau sekitar lingkungan.

      Delete
    2. saya setuju dengan dian dan rini Sebenarnya sulit untuk membatasi dunia internet ini terutama google atau pun youtube. dan dari bnyaknya sumber yang mudah diakses ini maka dapat kita buat pembelajaran yang berpusat pada siswa. seperti menyelesaikan masalah dari masalah yang diberikan guru atau masalah yang mereka temukan sehingga siswa dapat bepikir kreatif dan inovatif dari masalah yang mereka temukan tsb.

      Delete
  4. menurut saya yang dapat kita researcher lakukan yakni dengan mennganalisis apa penyebab fenomena tsb, jika kita telah mengetahui penyebabnya kita bisa menelukan bagaimana solusinya, disebutkan bahwa setiap diberikan tugas siswa terbiasa googling, nah untuk mengaasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kriti dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa. misalnya yakni meminta pendapat/persepsi siswa secara langsung atau dengan menugaskan siswa mengumpulkan info (googling) sebanyak-banyaknya namun nantinya disimpulkan secara mandiri hasil googlingan yang ditemukan siswa tsb (literasi) dan mempresentasikan hasil googling+persepsi individual siswa yang berkaitan dengan materi.
    menurut saya dengan cara ini konotasi negatif googling mungkin dapat sedikit berkurang, balik lagi bagaimana cara guru mensiasatinya, dan bagi guru yang masih belum dapat menerapkannya itu merupakan salah satu tanggungjawab kita researcher to be untuk membantu mengarahkan/ mengedukasi guru (selain tugas pemerintah pusat/dinas pendidikan provinsi)

    ReplyDelete
  5. menurut saya google dan yahoo hanya menjadi sarana yang mempermudah siswa untuk mendapatkan referensi tambahan. Bergantungnya atau tidak anak itu, kita harus memberitahu dampak dari penggunaan internet. Sehingga timbul dari diri mereka untuk was-was dan membatasi penggunaan internet.

     internet berguna bagi siswa dalam mencari video pembelajaran, sehingga siswa bisa belajar tidak hanya dari guru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar yang dikemukakan oleh rina bahwa google dan yahoo hanya menjadi sarana yang mempermudah siswa untuk mendapatkan referensi tambahan. Bergantungnya atau tidak anak itu, kita harus memberitahu dampak dari penggunaan internet. Sehingga timbul dari diri mereka untuk was-was dan membatasi penggunaan internet.

      internet berguna bagi siswa dalam mencari video pembelajaran, sehingga guru bukan satu-satunya sumber informasi bagi siswa

      Delete
  6. saya sependpat dengan kak Rini tentang,
    bagaimana peran kita sbg research to be dalam mengatasi pefrmasalahan siswa yang tergantungan googling dan respon guru yang bervariatif dengan fenomena mediatasi ini?
    menurut kak Rini "yang dapat kita researcher lakukan yakni dengan mennganalisis apa penyebab fenomena tsb, jika kita telah mengetahui penyebabnya kita bisa menelukan bagaimana solusinya, disebutkan bahwa setiap diberikan tugas siswa terbiasa googling, nah untuk mengaasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kriti dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa. Dengan cara ini konotasi negatif googling mungkin dapat sedikit berkurang, balik lagi bagaimana cara guru mensiasatinya, dan bagi guru yang masih belum dapat menerapkannya itu merupakan salah satu tanggungjawab kita researcher to be untuk membantu mengarahkan/ mengedukasi guru.

    ReplyDelete
  7. sebagai research to be kita bisa melakukan penelitian dengan menganalisis dan mengumpulkan data-data apa penyebabnya dan faktor-faktor yang membuat siswa seperti itu. Kemungkinan bisa jadi dari RPP yang dibuat guru juga tidak mengarahkan siswa kepada cara berfikir tingkat tinggi. perencanaan yang kurang baik bisa jadi akan memberikan dampak yang kurang baik juga terhadap hasil yang akan didapat.

    ReplyDelete

Materi 14 : INOVASI SINTAK 5E DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA

Learning Cycle         Siklus belajar 5E  (learning cycle 5E)   adalah salah satu model konstruktivis lengkap dalam kasus pembelajaran b...