Dalam pandangan paradigma
positivistik masyarakat berkembang secara linier seiring dengan perkembangan
peradaban manusia itu sendiri yang ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Secara berturut-turut masyarakat berkembang dari masyarakat
primitif, masyarakat agraris, masyarakat industri, dan kemudian pada
perkembangan lanjut menjadi masyarakat informasi. Situasi abad 21 sering kali
diidentikan dengan masyarakat informasi tersebut, yang ditandai oleh munculnya
fenomena masyarakat digital. Meneruskan perkembangan masyarakat industri
generasi pertama, sekarang ini, abad 21 dan masa mendatang, muncul apa yang
disebut sebagai revolusi industri 4.0.
Istilah industri 4.0 pertama
kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011 yang ditandai revolusi digital.
Revolusi industri gelombang keempat, yang juga disebut industri 4.0, kini telah
tiba. Industry 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang sedemikian rupa
canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada sektor
manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk kecerdasan buatan (artificial
intelligent), perdagangan elektronik, data raksasa, teknologi finansial,
ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot.
Indonesia
yang merupakan bagian dari masyarakat global, juga berkembang sebagaimana alur
linieristik tersebut, setidaknya dari sudut pandang pemerintah sejak era Orde
Baru. Akan
tetapi pada kenyataannya kondisi masyarakat Indonesia tidak sama dengan
perkembangan pada masyarakat Barat yang pernah mengalami era pencerahan dan
masyarakat industri. Perkembangan masyarakat Indonesia faktanya tidak secara
linier, tetapi lebih berlangsung secara pararel. Artinya, ada masyarakat yang
hingga fase perkembangannya sekarang masih menunjukkan masyarakat primitif, ada
yang masih agraris, ada yang sudah menunjukkan karakter sebagai masyarakat
industrial, dan bahkan ada yang memang sudah masuk dalam era digital. Semuanya
kategori karakter masyarakat tersebut faktanya berkembang tidak secara linier,
tetapi berlangsung secara pararel.
Oleh
karena itu, meskipun era digital sudah begitu marak yang ditandai oleh makin
luasnya jangkauan internet; namun demikian ada juga masyarakat yang masih belum
terjangkau internet, dan bahkan masih berupa wilayah blank spot. Kondisi seperti
itu juga berimplikasi terhadap perkembangan pelayanan pendidikan, sehingga juga
berkonsekuensi terhadap karaktiristik guru dan siswanya, meskipun sudah berada
dalam abad 21. Sekolah, guru, dan siswa di daerah perkotaan memang sudah
terkoneksi jaringan internet, tetapi untuk daerah pedesaan masih ada juga yang
belum terambah oleh fasilitas internet, dan bahkan ada pula wilayah yang sama sekali
belum terjangkau infrastruktur telekomunikasi. Akan tetapi pada abad 21
sekarang ini masyarakat Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan
dengan era digital. Karena itu apa pun harus menyesuaikan dengan kehadiran era
baru berbasis digital, sehingga bagaimana menjadi bagian dari era digital
sekarang ini dengan memanfaatkan teknologi digital dan berjejaring ini secara
produktif.
1. Masyarakat Informasional di Indonesia
Pada fase masyarakat
industrial fokus utama adalah bagaimana masyarakat dengan segenap penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi berusaha mengolah bahan baku yang disediakan
oleh alam menjadi komoditas yang berpotensi meningkatkan kualitas hidup. Akan
tetapi sekarang ini, ketika memasuki era masyarakat informasional, bukan lagi
perkara bagaimana berproduksi untuk akumulasi kapital, akan tetapi bagaimana
penguasaan dan kemampuan mengolah informasi sebagai sumber daya utama untuk
meningkatkan kualitas hidup.
Sekarang ini banyak yang
sepakat bahwa masyarakat Indonesia mengalami transisi dari masyarakat offline
menuju masyarakat online. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat
informasional dan komunikasional juga telah hadir yang siapa pun tidak bisa
menolaknya. Dengan kata lain, kehadiran masyarakat informasional ini sudah
merupakan imperatif, atau sebuah keniscayaan. Hampir seluruh aspek kehidupan
dalam bermasyarakat mulai dari aspek ekonomi, politik, kebudayan, dan
sosial-budaya terambah oleh moda-moda informasional dan komunikasional.
Sekarang ini informasi tidak lagi mewujud dalam bentuk pengetahuan yang
terdokumentasi secara padat seperti barang-barang cetakan, tetapi telah berubah
menjadi serba digital. Proses digitalisasi terjadi dalam berbagai aspek kehidupan
manusia yang tentu saja berimplikasi terhadap perubahan nilai, cara pandang,
dan pola-pola perilaku masyarakat.
Dari data Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di Indonesia
mencapai 132,5 juta orang pada 2016, tumbuh pesat dari 2015 yang baru 88,1 juta
orang. Hal itu tidak lepas dari kerja keras para operator telekomunikasi yang
memperluas jangkauan layanan mereka. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga
mengeluarkan regulasi yang mendukung (Kompas, 20 Maret 2017, hal. 12). Akan
tetapi seiring dengan gegap-gempita tumbuhnya masyarakat jaringan ini, juga
menyodorkan persoalan sosio-kultural seperti kesenjangan digital. Dalam
insitusi keluarga pun juga menyodorkan persoalan kesenjangan antara generasi
para orangtua yang masih disebut sebagai digital immigrant dan generasi
anak-cucunya yang disebut sebagai generasi digital native.
Di Indonesia, target menjadi
masyarakat informasi diarahkan pada ukuran terhubungnya seluruh desa dalam
jaringan teknologi komunikasi dan informasi pada tahun 2015. Determinasi
teknologi ini harus diwujudkan dalam determinasi sosial, dimana masyarakat
harus berdaya terhadap informasi. Konsep masyarakat informasi tidak lagi
mengarah seperti era media yang telah muncul pada era industrial atau sering
disebut the first media age dimana informasi diproduksi terpusat (satu
untuk banyak khalayak), arah komunikasi satu arah; Negara mengontrol terhadap
semua informasi yang beredar; reproduksi stratifikasi sosial dan ketidakadilan
melalui media; dan khalayak informasi yang terfragmentasi. Akan tetapi
masyarakat informasi yang berada pada the second media age yang memiliki
karakter informasi desentralistik; komunikasi dua arah; kontrol Negara yang
distributif; demokratisasi informasi; kesadaran individual yang mengutama; dan
adanya orientasi individual.
Ciri utama masyarakat
informasi adalah bahwa semua aktivitas masyarakatnya berbasis pada pengetahuan.
Oleh karena itu, dalam dunia di mana informasi dan pengetahuan terus beredar,
pemerintah bercita-cita untuk membangun negara sebagai masyarakat yang berpengetahuan.
Akan tetapi justru di sinilah kemudian menimbulkan masalah, sebab perkembangan
masyarakat di Indonesia tidak linier dan homogen. Ada sebagaian masyarakat yang
sudah berada dalam tahap siap memasuki masyarakat informasi karena telah
mempunyai basis pengetahuan kuat dan menggunakannya sebagai dasar utama bagi
aktivitasnya. Sementara banyak juga warga masyarakat yang berakar kuat pada
kultur agraris, tradisional, penuh mistik, dan pandangan dunianya kurang mampu
cepat beradaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya
ketika pemerintah membangun infrastruktur ICT secara signifikan, sebagian besar
warga masyarakat kurang mampu memanfaatkan ICT untuk kepentingan yang
produktif, karena rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya
pengetahuan.
2. Implikasinya terhadap Pendidikan
Perubahan peradapan menuju
masyarakat berpengetahuan (knowledge society). menuntut masyarakat dunia
untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu mampu memahami dan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi (ICT Literacy Skills). Pendidikan memegang
peranan sangat penting dan strategis dalam membangun masyarakat berpengetahuan
yang memiliki keterampilan: (1) melek teknologi dan media; (2) melakukan
komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4) memecahkan masalah; dan (5)
berkolaborasi. Akan tetapi persoalan ICT Literacy ini dalam masyarakt kita
masih masalah mendasar bagi upaya menuju masyarakat informasi. Rendahnya
tingkat ICT Literacy, terutama pada masyarakat pedesaan menjadi faktor signifikan
terhadap menetapnya fenomena kesenjangan informasi di Indonesia.
Mark Poster pada awal dekade
sembilan puluhan telah mempublikasikan buku The Second Media Age, yang
mengakabarkan datangnya periode baru yaitu hadirnya teknologi interaktif dan
komunikasi jaringan, terutama sejak hadirnya internet, yang akan mengubah
masyarakat. Jadi sudah sejak awal, para akademisi telah memprediksi bahwa
kehadiran Internet akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap perubahan
social. World Wide Web (www) adalah dunia yang terbuka, fleksibel, dan
merupakan lingkungan informasi yang dinamik, yang membuat keberadaan manusia
mampu mengembangkan orientasi baru terhadap ilmu pengetahuan, dan mendorong
lebih banyak berinteraksi, community-base, dunia demokrasi yang saling memberdayakan.
Internet mengembangkan tempat untuk bertemu secara virtual yang memperluas
jaringan social ke seluruh dunia, menciptakan kemungkinan baru untuk
pengetahuan, dan memberi peluang untuk berbagi perspektif secara lebih luas.
Merespons perkembangan baru,
yaitu era masyararakat informasional dan komunikasional yang ditandai oleh
kehadiran media baru, pemerintah dalam pembangunan sektor pendidikan
mengeluarkan kebijakan. Beberapa kebijakan Kementerian Pendidikan Indonesia
yang berisi pemanfaatan ICT dalam pembelajaran sudah cukup lama hingga
sekarang, termasuk penerapan Kurikulum 2013 juga mendorong proses pembelajaran
berbasis ICT, sehingga penetrasi media baru (new media) dalam dunia
pendidikan semakin intensif dan ekstensif. Terdapat kesepakatan umum bahwa
Information and Communication Technologies (ICT) adalah baik untuk pengembangan
dunia pendidikan.
Bank Dunia mengarisbawahi
bahwa para pendidik dan para pengambil keputusan sepakat bahwa ICT merupakan
hal yang sangat penting bagi pengembangan masa depan pendidikan dalam era
Melinium. Teknologi ini, khususnya internet yang mampu membangun kemampuan
jaringan informasi dapat meningkatkan akses melalui belajar jarak jauh, membuka
jaringan pengetahuan bagi murid, melatih guru-guru, menyebarluaskan materi pendidikan
dengan kualitas standar, dan mendorong penguatan upaya efisiensi dan
efektivitas kebijakan administrasi pendidikan.
Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan
pemanfaatan TIK dalam pendidikan melalui Pendidikan Jarak Jauh bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan
pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh
berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak
dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler, (3) Pendidikan jauh
diselelnggrakan dalam bentuk, modus dan cakupan yang didukung oleh sarana dan
layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan
standar nasional pendidikan. Jadi sistem pendidikan jarak jauh telah menjadi
suatu inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan nasional.”
Sistem pendidikan jarak jauh
yang dimulai dengan generasi pertama korespondensi (cetak), generasi kedua
multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga pembelajaran jarak jauh
(telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran fleksibel (multimedia
interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based course), akhirnya
generasi keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www). Seperti tercantum
secara eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005 –
2009, terlihat jelas bahwa TIK memainkan peran penting dalam menunjang tiga
pilar kebijakan pendidikan nasional, yaitu:(1) perluasan dan pemerataan akses;
(2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola,
akuntabilitas dan citra publik pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan yang
bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau rakyat banyak.
Dalam Renstra Depdiknas 2005
– 2009 dinyatakan peran strategis TIK untuk pilar pertama, yaitu perluasan dan
pemerataan akses pendidikan, diprioritaskan sebagai media pembelajaran jarak
jauh. Sedangkan untuk pilar kedua, peningkatan mutu, relevansi dan daya
saing, peran TIK diprioritaskan untuk penerapan dalam pendidikan/proses
pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan tata kelola, akuntabilitas dan
citra publik, peran TIK diprioritaskan untuk sistem informasi manajemen
secara terintegrasi.
Perubahan era yang kemudian
mengubah karakter masyarakat secara bertahap, menghadirkan realitas baru
seperti masyarakat informasional dan komunikasional juga berimplikasi terhadap perkembangan
media, yang kemudian dikenal sebagai media baru. Media baru yang berbasis
internet dan web ini beroperasi secara masif, ekstensif, dan intensif merasuk
ke berbagai sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor pendidikan. Oleh karena
itu dapat dipahami jika pemerintah Indonesia mengantisipasi dan kemudian
menstransformasikan diri dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan
berbasis TIK tersebut. Berbagai regulasi juga terus diciptakan guna mengikuti
kehadiran media baru ini.
Dengan hadirnya ICT dunia
pendidikan bisa membawa dampak positif apabila teknologi tersebut dimanfaatkan
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi bisa menjadi masalah baru
apabila lembaga pendidikan tidak siap. Untuk itu, perlu dilakukan suatu kajian
tentang dampak positif dan negatif dari pemanfataan Teknologi Komunikasi dan
Informasi (ICT) sebagai media komunikasi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan. Hasil penelitian Kurniawati et,al (2005) menunjukan bahwa pada
umumnya pendapat guru dan siswa tentang manfaat ICT khususnya edukasi net
antara lain : (1) Memudahkan guru dan siswa dalam mencari sumber belajar
alternative; (2 ) Bagi siswa dapat memperjelas materi yang telah disampaikan
oleh guru, karena disamping disertai gambar juga ada animasi menarik; (3) Cara belajar
lebih efisien; (4) Wawasan bertambah; (5) Mengetahui dan mengikuti perkembangan
materi dan info-info lain yang berhubungan dengan bidang studi; dan (5)
Membantu siswa melek ICT (Pujiriyanto, 2012).
Atas perubahan tersebut, maka
dalam proses pembelajaran juga sangat intensif terekspose (terpaan) oleh
kehadiran media baru, dan ini menyodorkan fenomena tentang mediatisasi
pembelajaran. Masif, ekstensif, dan intensifnya media baru dalam proses
pembelajaran ini akhirnya juga mengubah moda-moda belajar yang bergantung pada
media. Fenomena baru inilah yang kemudian dikenal sebagai mediatisasi
pembelajaran, di mana media tampil begitu kuat dan menentukan, dan akhirnya
aktivitas pembelajaran bukan sekadar memanfaatkan media akan tetapi lebih dari
itu mengikuti logika media.
Kuatnya logika media itu
kemudian membawa konsekuensi terhadap perubahan pola dan moda belajar pada
lembaga strategis seperti sekolah. Misalnya, hubungan guru dan murid dan
aktivitas belajarnya tidak lagi bergantung pada satu sumber belajar yang
tersedia di lingkungan sekolah, akan tetapi juga mau tidak mau harus menerima
kehadiran media baru berbasis internet dan web ini sebagai sumber belajar.
Karakter media baru sebagai penyedia konten (isi) begitu besar dan bahkan tidak
terbatas jauh melebihi gudang pengetahuan yang disediakan pada lingkungan
sekolah.
Aksesnya pun terbuka lebar
karena tata kelola informasinya sangat canggih dan sangat mudah dan cepat
diakses oleh siswa dalam aktivitas belajar. Sekarang ini pokok-pokok bahasan
yang diajarkan guru pada ruang kelas, akan dengan mudah dikonfirmasikan melalui
google atau pun yahoo yang begitu banyak dan mudah menyediakan
informasi pengetahuan yang relevan dengan pembelajaran di sekolah. Lebih dari
itu, media baru juga menyediakan aplikasi pembelajaran secara virtual yang
mirip dengan pembelajaran di ruang kelas pada setiap sekolah.
Akan tetapi, kehadiran media
baru ini juga menghadirkan berbagai persoalan yang berkait dengan perilaku
belajar siswa dan sikap guru terhadap maraknya pembelajaran digital ini. Sebut
saja misalnya tentang sikap minimalis dan pragmatisme belajar siswa yang sangat
fenomenal seperti ketergantungan pada google atau yahoo setiap
kali menghadapi masalah atau pun penugasan dalam pembelajaran di kelas. Sikap
guru pun masih variatif dalam menghadapi hadirnya media baru dan mediatisasi
pembelajaran ini karena terkait kesenjangan keterampilan dan pengetahuan
tentang media baru, yang masuk dalam generasi digital imigrant yang
harus menghadapi murid yang masuk dalam kategori digital native.
3. Keterampilan
Utama pada Abad 21
Pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik berbeda dengan pembelajaran yang berpusat pada pendidik, berikut karakter
pembelajaran abad 21 pembelajaran yang berpusat pada peserta didik yang sering
disebut sebagai 4C, yaitu:
a. Communication
(Komunikasi)
Di abad 21, siswa yang mampu bertahan adalah yang bisa
berkomunikasi dengan berbagai cara, baik tertulis maupun verbal. Siswa dituntut
untuk memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi yang efektif dalam
berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan, dan multimedia. Siswa diberikan
kesempatan menggunakan kemampuannya untuk mengutarakan ide-idenya, baik itu
pada saat berdiskusi dengan teman-temannya maupun ketika menyelesaikan masalah
dari gurunya. Siswa tidak boleh lagi anti ICT, mereka harus biasa dengan
komunikasi yang bertekhnologi. Demikian juga gurunya. Pada
karakter ini, peserta didik dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan
komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan,
dan multimedia. Peserta didik diberikan kesempatan menggunakan kemampuannya
untuk mengutarakan ide-idenya, baik itu pada saat berdiskusi dengan
teman-temannya maupun ketika menyelesaikan masalah yang diberikan oleh
pendidik.
b.
Collaboration
(Kerjasama)
Ternyata juga, hidup di abad 21 tidak tergantung lagi
pada persaingan. Justru, orang-orang sukses di abad ini adalah orang-orang yang
bisa bekerja sama atau berkolaborasi dengan berbagai kepentingan. Siswa harus
mampu kemampuannya dalam kerjasama berkelompok dan kepemimpinan; beradaptasi
dalam berbagai peran dan tanggungjawab; bekerja secara produktif dengan yang
lain; menempatkan empati pada tempatnya; menghormati perspektif berbeda. Siswa
juga menjalankan tanggung jawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi, pada Pada karakter ini, peserta didik menunjukkan kemampuannya
dalam kerjasama berkelompok dan kepemimpinan; beradaptasi dalam berbagai peran
dan tanggungjawab; bekerja secara produktif dengan yang lain; menempatkan
empati pada tempatnya; menghormati perspektif berbeda. Peserta didik juga
menjalankan tanggungjawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi, pada tempat
kerja, dan hubungan masyarakat; menetapkan dan mencapai standar dan tujuan yang
tinggi untuk diri sendiri dan orang lain.
c. Critical Thinking and Problem Solving (Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah)
Yang dimaksud masalah di sini ada dua macam, masalah
yang sifatnya akademis dan otentis. Masalah akademis tentu saja masalah yang
terkait pada ranah kognisi yang mereka jalani. Masalah otentis lebih kepada
masalah yang sering mereka jumpai sehari-hari di sekitar mereka. Siswa dituntut
mampu menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk berusaha menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya dengan mandiri, siswa juga memiliki kemampuan
untuk menyusun dan mengungkapkan, menganalisa, dan menyelesaikan masalah. Pada karakter ini, peserta didik berusaha untuk memberikan
penalaran yang masuk akal dalam memahami dan membuat pilihan yang rumit;
memahami interkoneksi antara sistem. Peserta didik juga menggunakan kemampuan
yang dimilikinya untuk berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya
dengan mandiri, peserta didik juga memiliki kemampuan untuk menyusun,
mengungkapkan, menganalisa, dan menyelesaikan masalah.
d. Creativity and Innovation (Daya cipta dan Inovasi)
Pada karakter ini, peserta didik memiliki
kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan
baru kepada yang lain; bersikap terbuka dan responsif terhadap perspektif baru
dan berbeda. Manusia yang
akan sukses di abad 21 adalah orang-orang yang kreatif dan memiliki keberagaman
ide. Sehingga, dalam dimensi kreatif ini, gurunya pun harus kreatif. Tidak lagi
hanya mengharapkan kemampuan siswa pada level mendeskripsikan sesuatu, namun
bagaimana siswa mampu mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan
gagasan-gagasan baru kepada yang lain; bersikap terbuka dan responsif terhadap
perspektif baru dan berbeda.
4. Karakteristik Guru Abad 21
Bagaimana ciri guru Abad 21 ? Menurut Ragwan
Alaydrus, S.Psi setidaknya ada 7 Karakteristik Guru Abad 21
a.
Life-long learner. Pembelajar seumur
hidup. Guru perlu meng-upgrade terus pengetahuannya dengan banyak membaca serta
berdiskusi dengan pengajar lain atau bertanya pada para ahli. Tak pernah ada
kata puas dengan pengetahuan yang ada, karena zaman terus berubah dan guru
wajib up to date agar dapat mendampingi siswa berdasarkan kebutuhan
mereka.
b.
Kreatif dan inovatif. Siswa yang kreatif
lahir dari guru yang kreatif dan inovatif. Guru diharap mampu memanfaatkan
variasi sumber belajar untuk menyusun kegiatan di dalam kelas.
c.
Mengoptimalkan teknologi. Salah satu ciri dari
model pembelajaran abad 21 adalah blended learning, gabungan antara
metode tatap muka tradisional dan penggunaan digital dan online media. Pada
pembelajaran abad 21, teknologi bukan sesuatu yang sifatnya additional, bahkan
wajib.
d.
Reflektif. Guru yang reflektif adalah guru yang mampu
menggunakan penilaian hasil belajar untuk meningkatkan kualitas mengajarnya.
Guru yang reflektif mengetahui kapan strategi mengajarnya kurang optimal untuk
membantu siswa mencapai keberhasilan belajar. Ada berapa guru yang tak pernah
peka bahkan setelah mengajar bertahun-tahun bahwa pendekatannya tak cocok
dengan gaya belajar siswa. Guru yang reflektif mampu mengoreksi pendekatannya
agar cocok dengan kebutuhan siswa, bukan malah terus menyalahkan kemampuan
siswa dalam menyerap pembelajaran
e.
Kolaboratif. Ini adalah salah
satu keunikan pembelajaran abad 21. Guru dapat berkolaborasi dengan siswa dalam
pembelajaran. Selalu ada mutual respect dan kehangatan sehingga
pembelajaran akan lebih menyenangkan. Selain itu guru juga membangun kolaborasi
dengan orang tua melalui komunikasi aktif dalam memantau perkembangan anak.
f.
Menerapkan student centered. Ini adalah
salah satu kunci dalam pembelajaran kelas kekinian. Dalam hal ini,
siswa memiliki peran aktif dalam pembelajaran sehingga guru hanya bertindak
sebagai fasilitator. Karenanya, dalam kelas abad 21 metode ceramah tak lagi
populer untuk diterapkan karena lebih banyak mengandalkan komunikasi satu arah
antara guru dan siswa.
g.
Menerapkan pendekatan diferensiasi. Dalam menerapkan
pendekatan ini, guru akan mendesain kelas berdasarkan gaya belajar siswa.
pengelompokkan siswa di dalam kelas juga berdasarkan minat serta kemampuannya.
Dalam melakukan penilaian guru menerapkan formative assessment dengan
menilai siswa secara berkala berdasarkan performanya (tak hanya tes tulis). Tak
hanya itu, guru bersama siswa berusaha untuk mengatur kelas agar menjadi
lingkungan yang aman dan suportif untuk pembelajaran.
5. Teknik Pembelajaran Abad 21
Karakteristik pembelajar abad
21 ini menjadi penting untuk diketahui oleh para guru dan orang tua supaya
dapat mengetahu bagaimana cara/teknik memfasilitasi pembelajarannya.
Cara/teknik pembelajaran yang
digunakan untuk memfasilitasi pembelajaran abad 21 ini meliputi:
1) pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik,
2) multi interaksi dalam proses
pendidikan,
3) lingkungan belajar yang lebih
luas,
4)
peserta
didik aktif menyelidiki dalam proses belajar,
5)
apa
yang dipelajari kontekstual dengan anak,
6)
pembelajaran
berbasis tim,
7)
objek
yang dipelajari relevan dengan kebutuhan anak,
8)
semua
indera anak didayagunakan dalam proses belajar,
9)
menggunakan
multimedia (khususnya ICT),
10) hubungan guru dengan siswa adalah kerjasama
untuk belajar bersama,
11) peserta didik belajar sesuai dengan kebutuhan
individual, sehingga layanan pembelajaran lebih individual juga, kesadaran
jamak (bukan individual),
12) multi displin,
13) otonomi dan kepercayaan,
14) mengembangkan pemikiran kreatif dan kritis,
15) guru dan siswa sama-sama saling belajar.
(Sumber:
dikembangkan dari “Paradigma Pendidikan Abad 21”, BSNP, 2010).
Permasalahan :
Masif, ekstensif, dan intensifnya media baru dalam
proses pembelajaran ini akhirnya juga mengubah moda-moda belajar yang
bergantung pada media. Fenomena baru inilah yang kemudian dikenal sebagai
mediatisasi pembelajaran, di mana media tampil begitu kuat dan menentukan, dan
akhirnya aktivitas pembelajaran bukan sekadar memanfaatkan media akan tetapi
lebih dari itu mengikuti logika media. Kuatnya logika media itu kemudian
membawa konsekuensi terhadap perubahan pola dan moda belajar pada lembaga
strategis seperti sekolah. Misalnya, hubungan guru dan murid dan aktivitas
belajarnya tidak lagi bergantung pada satu sumber belajar yang tersedia di
lingkungan sekolah, akan tetapi juga mau tidak mau harus menerima kehadiran
media baru berbasis internet dan web ini sebagai sumber belajar.
Akan tetapi,
kehadiran media baru ini juga menghadirkan berbagai persoalan yang berkait
dengan perilaku belajar siswa dan sikap guru terhadap maraknya pembelajaran
digital ini. Sebut saja misalnya tentang sikap minimalis dan pragmatisme
belajar siswa yang sangat fenomenal seperti ketergantungan pada google atau
yahoo setiap kali menghadapi masalah atau pun penugasan dalam
pembelajaran di kelas. Sikap guru pun masih variatif dalam menghadapi hadirnya
media baru dan mediatisasi pembelajaran ini karena terkait kesenjangan
keterampilan dan pengetahuan tentang media baru, yang masuk dalam generasi digital
imigrant yang harus menghadapi murid yang masuk dalam kategori digital
native. Bagaimana cara kita sebagai research to be mengatasi permasalahan ini? Bukankah seharusnya di Abad 21 Keterampilan yang diharapkan dari peserta didik salah satunya adalah mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah, bukannya bergantung pada media google dan yahoo saja yang mampu menjawab segala permasalahan? Bagaimana saran dan solusinya menurut Anda terkhusus
contohnya dalam pembelajaran kimia?
saya akan mencoba menjawab pertanyaan dari melda yakni bagaimana peran kita sbg research to be dalam mengatasi pefrmasalahan siswa yang tergantungan googling dan respon guru yang bervariatif dengan fenomena mediatasi ini.
ReplyDeletemenurut saya yang dapat kita researcher lakukan yakni dengan mennganalisis apa penyebab fenomena tsb, jika kita telah mengetahui penyebabnya kita bisa menelukan bagaimana solusinya, disebutkan bahwa setiap diberikan tugas siswa terbiasa googling, nah untuk mengaasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kriti dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa. misalnya yakni meminta pendapat/persepsi siswa secara langsung atau dengan menugaskan siswa mengumpulkan info (googling) sebanyak-banyaknya namun nantinya disimpulkan secara mandiri hasil googlingan yang ditemukan siswa tsb (literasi) dan mempresentasikan hasil googling+persepsi individual siswa yang berkaitan dengan materi.
menurut saya dengan cara ini konotasi negatif googling mungkin dapat sedikit berkurang, balik lagi bagaimana cara guru mensiasatinya, dan bagi guru yang masih belum dapat menerapkannya itu merupakan salah satu tanggungjawab kita researcher to be untuk membantu mengarahkan/ mengedukasi guru (selain tugas pemerintah pusat/dinas pendidikan provinsi)
Saya sependapat dengan kak rini, sebagai research to be kita bisa melakukan penelitian dengan menganalisis dan mengumpulkan data-data apa penyebabnya dan faktor-faktor yang membuat siswa seperti itu. Kemungkinan bisa jadi dari RPP yang dibuat guru juga tidak mengarahkan siswa kepada cara berfikir tingkat tinggi. Menurut saya pribadi teknologi itu harus dibarengi dengan cara kita mebatasinya, nah dalam proses pembelajaran tentu guru membatasi dengan langkah-langkah belajar dalam mengarahkan siswa. Mudahnya siswa dalam memperoleh pengetahuan membuat kita harus mengubah proses berpikir siswa menjadi C4-keatas agar pencarian di google tadi tidak dicopas secara bulat oleh siswa melainkan data digoogle sebagai data tambahan siswa dalam menganalisis
Deletesaya sependapat dengan kaka rini dan kak rifani menanggapi permasalahan ini dimana cara mensiasatinya dengan meminta pendapat/persepsi siswa secara langsung atau dengan menugaskan siswa mengumpulkan info (googling) sebanyak-banyaknya namun nantinya disimpulkan secara mandiri hasil googlingan yang ditemukan siswa tsb (literasi) dan mempresentasikan hasil googling+persepsi individual siswa yang berkaitan dengan materi.
Deletehal ini harus dirancang dnegan menggunakan metode yang tepat yang tertuang pada RPP yang telah dibuat guru
saya setuju dengan kk rini, menurut saya yang dapat kita researcher lakukan yakni dengan mennganalisis apa penyebab fenomena tsb, jika kita telah mengetahui penyebabnya kita bisa menelukan bagaimana solusinya, disebutkan bahwa setiap diberikan tugas siswa terbiasa googling, nah untuk mengaasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kriti dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa.
Deletesaya setuju dengan pendapat teman-teman bahwa cara mensiasatinya dengan meminta pendapat/persepsi siswa secara langsung atau dengan menugaskan siswa mengumpulkan info (googling) sebanyak-banyaknya namun nantinya disimpulkan secara mandiri hasil googlingan yang ditemukan siswa tsb (literasi) dan mempresentasikan hasil googling+persepsi individual siswa yang berkaitan dengan materi.
DeleteTerimaksih atas komentarnya saudari rini, saudari mengatakan untuk mengatasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kritis dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa. Sedangkan mereka benar-benar sudah sangat tergantung dengan google, kondisinya ada masalah apapun yang diberikan semudah dan serumit apapun pasti langsung buka google, seolah-olah mereka malas untuk berpikir, yah yaudahlah tinggal buka google aja, bagaimana bisa kita tetap memberikan pertanyaan yang megasah tingkat berpikirnya sedangkan mereka menjadi manja dengan google dan malas berpikir?
ReplyDeletenah itu tadi melda menurut saya kita sbg researcher bisa membantu guru memunculkan pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan pemikiran mendalam misalnya dalam bentuk esay terstruktur, ataupun menanyakan opini siswa terhadap suatu materi (opini kan tidak bisa di copycut melainkan merupakan hasil pemikiran) dengan begitu yang tadinya jawaban siswa hanya copycut kita bisa arahkan menjadi jawaban yang lebih dalam dan terarah. atau bisa jadi dengan memunculkan pertanyaan yang berdasarkan pengalaman personal (misalnya pada materi asam basa, contoh asam yakni rasa jeruk yang masam itu hanya bisa dikatakan masam jika siswa merasakannya sendiri)
DeleteIngin menjawab pertanyaan kk melda. Sebenarnya sulit untuk membatasi dunia internet ini terutama google atau pun youtube. Karena saya sendiri pun sebagai mahasiswa masih memanfaat kan google dan youtube untuk mendapatkan informasi yg mendukung tugas saya. Namun disini saat proses pmbelajaran dosen saya meminta saya untuk menyampaikan atau mempresentasikan apa yg sudah saya temui dam membuktikan dengan konkrit nah disnilah akan muncul tingkat berpikir saya bagaiamana cara menjelaskannya dan menghubungkannya dengan apa sudah syn dapatkan di internet tdi. Begitu pula untuk guru dan siswa. Tidak bisa di pungkiri siswa skrng pasti selalu melibatkan dunia internet untuk menyelesaikaj tugasnya. Namun disini tugas guru tidak hanya sekedar membrri tugas lalu menilai. Tetapi guru harus membangkitkan rasa keingin tahuan siswa mengapa fenomena atau permasalahan yg dtemui bisa terjadi. Yaitu guru meminta siswa yg ntuk mberpikir lagi dan mempresentasikan kepada teman temana bagaimana proses pemecahan masalahnya sesuai dengan apa yg sudah di cari oleh siswa tdi. Dan juga adanya pembuktikan konkrit bahwa yg sudah di cari oleh siswa meallui internet itu adalah benar. Karena baanyak nya pendapat manusia di dalam internet itu. Sehingga siswa pasti bingung mana yang benar dan salah untuk itu perlu lagi untuk prmbuktian atau penyelidikan agar siswa oercyaa dan kemampuan berpikirnya meningkat. Tidak hanya sebatas dari kata kata google. Karena pembelajaran abad 21 tidak hanya memnuntut teknologi saja namun adanya literasi baru dan belajar secara kelompok atau keja sama antar siswam dan guru begitu juga antara siswa dengan siswa lainnya. Jika hanya sebatas teknologi maka abad 21 ini tidak berjalan karena stiap manusia sudah sibuk dengan gadjet atau tekonlogi nya masing2 tanpa memperdulikan sesama lagi atau sekitar lingkungan.
ReplyDeletesaya setuju dengan dian, bahwa sulit untuk membatasi dunia internet ini terutama google atau pun youtube. Karena pembelajaran abad 21 tidak hanya memnuntut teknologi saja namun adanya literasi baru dan belajar secara kelompok atau keja sama antar siswam dan guru begitu juga antara siswa dengan siswa lainnya. Jika hanya sebatas teknologi maka abad 21 ini tidak berjalan karena stiap manusia sudah sibuk dengan gadjet atau tekonlogi nya masing2 tanpa memperdulikan sesama lagi atau sekitar lingkungan.
Deletesaya setuju dengan dian dan rini Sebenarnya sulit untuk membatasi dunia internet ini terutama google atau pun youtube. dan dari bnyaknya sumber yang mudah diakses ini maka dapat kita buat pembelajaran yang berpusat pada siswa. seperti menyelesaikan masalah dari masalah yang diberikan guru atau masalah yang mereka temukan sehingga siswa dapat bepikir kreatif dan inovatif dari masalah yang mereka temukan tsb.
Deletemenurut saya yang dapat kita researcher lakukan yakni dengan mennganalisis apa penyebab fenomena tsb, jika kita telah mengetahui penyebabnya kita bisa menelukan bagaimana solusinya, disebutkan bahwa setiap diberikan tugas siswa terbiasa googling, nah untuk mengaasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kriti dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa. misalnya yakni meminta pendapat/persepsi siswa secara langsung atau dengan menugaskan siswa mengumpulkan info (googling) sebanyak-banyaknya namun nantinya disimpulkan secara mandiri hasil googlingan yang ditemukan siswa tsb (literasi) dan mempresentasikan hasil googling+persepsi individual siswa yang berkaitan dengan materi.
ReplyDeletemenurut saya dengan cara ini konotasi negatif googling mungkin dapat sedikit berkurang, balik lagi bagaimana cara guru mensiasatinya, dan bagi guru yang masih belum dapat menerapkannya itu merupakan salah satu tanggungjawab kita researcher to be untuk membantu mengarahkan/ mengedukasi guru (selain tugas pemerintah pusat/dinas pendidikan provinsi)
menurut saya google dan yahoo hanya menjadi sarana yang mempermudah siswa untuk mendapatkan referensi tambahan. Bergantungnya atau tidak anak itu, kita harus memberitahu dampak dari penggunaan internet. Sehingga timbul dari diri mereka untuk was-was dan membatasi penggunaan internet.
ReplyDeleteinternet berguna bagi siswa dalam mencari video pembelajaran, sehingga siswa bisa belajar tidak hanya dari guru.
benar yang dikemukakan oleh rina bahwa google dan yahoo hanya menjadi sarana yang mempermudah siswa untuk mendapatkan referensi tambahan. Bergantungnya atau tidak anak itu, kita harus memberitahu dampak dari penggunaan internet. Sehingga timbul dari diri mereka untuk was-was dan membatasi penggunaan internet.
Deleteinternet berguna bagi siswa dalam mencari video pembelajaran, sehingga guru bukan satu-satunya sumber informasi bagi siswa
saya sependpat dengan kak Rini tentang,
ReplyDeletebagaimana peran kita sbg research to be dalam mengatasi pefrmasalahan siswa yang tergantungan googling dan respon guru yang bervariatif dengan fenomena mediatasi ini?
menurut kak Rini "yang dapat kita researcher lakukan yakni dengan mennganalisis apa penyebab fenomena tsb, jika kita telah mengetahui penyebabnya kita bisa menelukan bagaimana solusinya, disebutkan bahwa setiap diberikan tugas siswa terbiasa googling, nah untuk mengaasinya kita bisa membantu guru dalam merancang pertanyaan yang mengasah tingkat berpikir kriti dan kreatif siswa nantinya akan ditugaskan kepada siswa. Dengan cara ini konotasi negatif googling mungkin dapat sedikit berkurang, balik lagi bagaimana cara guru mensiasatinya, dan bagi guru yang masih belum dapat menerapkannya itu merupakan salah satu tanggungjawab kita researcher to be untuk membantu mengarahkan/ mengedukasi guru.
sebagai research to be kita bisa melakukan penelitian dengan menganalisis dan mengumpulkan data-data apa penyebabnya dan faktor-faktor yang membuat siswa seperti itu. Kemungkinan bisa jadi dari RPP yang dibuat guru juga tidak mengarahkan siswa kepada cara berfikir tingkat tinggi. perencanaan yang kurang baik bisa jadi akan memberikan dampak yang kurang baik juga terhadap hasil yang akan didapat.
ReplyDelete